Friday, December 14, 2007

PELAKSANAAN UN DAN PEMBERDAYAAN GURU


Rendahnya pemahaman tentang "tanggung jawab profesi" telah dipertontonkan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini. Tak kurang dari media warta KOMPAS edisi 27 April 2007 di halaman 12 mewartakan aksi solidaritas Kelompok Air Mata Guru Medan yang menggelar pertemuan bersama para wartawan sesaat telah berakhirnya UN SLTP. Kelompok yang beranggotakan 18 orang Pengawas Sekolah 1 Orang Kepala Sekolah dan 17 orang Guru yang mengawas pelaksanaan UN pada beberapa sekolah di Medan, menyatakan adanya kecurangan yang dirancang secara sistematis dengan melibatkan oknum Guru sekolah untuk membantu para peserta UN dengan cara-cara yang melanggar Prosedur Operasional Standar (POS) UN. Para Guru yang ditugasi sebagai tim sukses sekolah tersebut melakukan tindak kecurangan dengan cara masuk ke ruang ujian, kemudian membacakan atau membagikan kunci jawabab soal ujian, atau mengirimkannya via SMS. Kejadian seperti itu dilaporkan telah berjalan selama tiga tahun terakhir.

"Ini baru berita"....gumam saya di dalam hati.Sungguh suatu melodrama yang tidak lucu dan memang tidak mengundang tawa kita, kalau "sang pagar" yaitu para Guru di sekolah malah makan tanaman yang seharusnya ia jaga sendiri.Berita ini harus segera ditindaklanjuti agar segera terjadi klarifikasi masalah adanya pelanggaran terhadap POS UN, maupun tindak pidana lain.Pengungkapan kasus-kasus tindak kecurangan dalam pelaksanaan UN akan membantu kita semua untuk melihat secara utuh peristiwa yang merugikan sekaligus memalukan dunia pendidikan kita.Keterbukaan dari tindak lanjut berbagai peristiwa pelanggaran hukum terhadap UN yang terjadi di berbagai daerah, diharapkan mampu memberikan gambaran nyata bahwa kita memang bersungguh-sungguh ingin melindungi proses penyelenggaraan pendidikan secara Bersih, Transparan dan Profesional (BTP).Saya berasumsi bukan tidak mungkin, mereka-mereka yang merekayasa terjadinya kecurangan dalam UN menganggap tindakan yang dilakukan itu merupakan pelanggaran ringan. Apalagi yang terjadi selama ini, belum ada publikasi secara luas bahwa memang ada yang dipidana (berat) karena melakukan kecurangan terhadap UN.Atau memang sanksi pidana yang terlalu ringan tersebut TIDAK DITAKUTI, sehingga tidak menimbulkan efek jera pada para pelaku.Kalau asumsi terakhir ini yang lebih dominan berpengaruh terhadap kenekatan pelaku pelanggar hukum dengan cara melibas serta mengabaikan POS UN, maka justru para Guru-guru kita yang dijadikan pion pelaksana lapanganlah yang harus kita advocasi dengan cara yang benar, sehingga berani menentukan sikap untuk tetap menolak segala bentuk tindakan yang kontraproduktif dengan etika profesi yang disandangnya.Dalam kurun waktu pelaksanaan reformasi pendidikan kita, UN dengan POS UN nya sudah mulai dibenahi, kemudian batas nilai kelulusan sudah mulai dinaikkan, dan naskah soal untuk waktu pelaksanaan yang sama, sudah dibuat 2 versi A dan B secara silang.Sayang yang kita temui ternyata kemajuan dan penyempurnaan dari prosedur dan perangkat UN tersebut melaju sendiri tanpa diikuti dengan laju peningkatan kompetensi profesi para Guru, KS dan Pengawas atau siapapun yang mungkin dapat dibujuk rayu agar terlibat dalam kecurangan UN tersebut.

Bagaimanapun tindak pelanggaran terhadap pelaksanaan UN tidak dapat kita tolelir, sementara pemberdayaan tenaga pendidik juga tidak dapat kita tunda-tunda dengan alasan klasik "biaya".Dua masalah tersebut ternyata sudah menjadi "dua sisi mata uang" yang harus kita laksanakan secara konsekuen dan konsisten.Semoga harapan terjadinya perubahan yang lebih baik di dalam layanan pendidikan dapat segera kita wujudkan dengan kompetensi profesionalisme secara memadai.

Salam guru,
ds.

Thursday, December 13, 2007

PENDIDIKAN HUMANIS

Sistem Pendidikan Indonesia sedang berproses menuju cara pandang baru (New Paradigm) yang lebih humanis (dengan mengedepankan hak-hak pembelajar) serta lebih demokratis, namun sekaligus juga lebih berorientasi pada perkembangan ICT (Information-Communication and Technologie).
Soedjatmoko, sebagai tokoh Humanitarianisme, dalam S.Masruri (2005), mengungkapkan ; perlunya kita semua menghindari ekses moral dari tekanan ICT yang hampir tak terkendali, dengan cara melibatkan banyak pihak yang peduli (kaum agamawan dan kaum budayawan) untuk secara bersama membangun sistem pendidikan yang didinginkan.
Melalui sistem pendidikan yang seperti itu diharapkan manusia dan masyarakat Indonesia terdidik, akan menjadi manusia yang “serba tahu” (well informmed) , memiliki komitmen yang tinggi (well commited), yang mampu menerapkan long life learning disertai kesadaran yang tinggi tentang keadilan sosial.
Untuk mewujudkan upaya pembaharuan sistem pendidikan yang humanis, menuntut berbagai pendekatan inovatif untuk memperluas proses belajar yang mampu menembus “tembok besar konvensional”. Patut disayangkan bahwa dari beberapa dekade pembangunan pendidikan kita di tanah air, “kekurangan” (kalau tidak mau disebut kegagalan) justru terletak pada ketidakpercayaan masyarakat itu sendiri untuk ikut berpartisipasi dalam program dimaksud. Contoh kasus sebagai indikasi adanya bukti terhadap hal ini ditayangkan oleh media televisi kita di minggu kedua bulan Desember 2007, “adanya sekelompok masyarakat yang secara bersama dan beramai-ramai merusak gedung sekolah” dan notabene gedung sekolah tersebut justru dibangun dari dana masyarakat itu sendiri (APBD). Mereka seolah tak merasa ikut memiliki proses pendidikan yang berlangsung (sense of belonging), padahal bukan tidak mungkin anak-anak mereka sendiri ada yang menjadi peserta didik dari sekolah yang dirusaknya.
Tantangan dari proses belajar masyarakat terhadap “perubahan” dapat ditengarai antara lain “tertutupnya kesediaan diri untuk menerima perubahan” (tidak munculnya hasrat untuk berubah), rendahnya komitmen terhadap adanya perubahan, serta rendahnya keterlibatan masyarakat terhadap program perubahan (sense of responsibility).
Oleh karenanya proses belajar sosial kemasyarakatan yang harus diprioritaskan sebagai WAJAH BARU KEBIJAKAN PENDIDIKAN KITA adalah kebijakan publik yang mengedepankan INOVASI SOSIAL dan PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, sehingga menemukan hal-hal baru bagi upaya nyata KELUAR DARI JEPITAN KEMISKINAN.
Patut dicermati pemikiran yang mencerdasi dan mengkritisi masalah ini, dengan pernyataan bahwa “salah satu ciri utama dari model pembangunan pada beberapa dekade terakhir adalah BERKEMBANGNYA KEYAKINAN DIRI DARI MEREKA YANG SECARA TRADISIONAL TIDAK BERDAYA DAN TERSINGKIR KARENA PROSES PERUBAHAN (PEMBANGUNAN) ITU SENDIRI.
Mengapa demikian, karena “semua upaya perubahan (pembangunan) tidak akan membawa manfaat jangka panjang TANPA PEMECAHAN MASALAH KEMISKINAN ITU SENDIRI”. Ini mungkin simpul-simpul akhir dari esensi pendidikan humanis, yang berupaya memberdayakan manusia secara manusiawi agar menjadi manusia sesungguhnya (seutuhnya), karena pastilah Tuhan tidak menciptakan hambaNya untuk teraniaya, apalagi oleh suatu sistem yang dibuat oleh hambaNya yang lain.
Kita memang membutuhkan suatu sistem pendidikan yang berpihak pada kebutuhan kemanusiaan, yaitu manusia berdaya. Manusia yang mampu melawan segala upaya yang memperdaya dirinya dari kesejahteraan sosial, kesejahteraan moral dan kesejahteraan spiritualnya.
Dengan “bersama” semoga harapan kemanusiaan tersebut, bukanlah utopia!.
Bukankah Tuhan Maha Tahu atas keinginan hambaNya?.

Jakarta, bulan akhir tahun 2007.
Salam saya
DS.